SOAL HAK PENGELOLAAN

Masih soal Audensi Komisi I DPRD Kab. Blitar yang mempertemukan kelompok tani perjuangan Paguyuban Kelud Makmur (PPKM) dengan PT. Rotorejo Kruwuk atas tanah sengketa eks perkebunan Kruwuk Rotorejo seluas 821 Ha. Dimana tanah seluas tersebut, merupakan bekas HGU No. 04/Gadungan seluas 4.649.720 m2 dan bekas HGU nomor 3/Sumberagung seluas 922.550 m2, kedua HGU tersebut masuk dalam perkebunan Kruwuk. Sementara untuk perkebunan Rotorejo dalam data di sekretariat Paguyuban Petani Aryo Blitar tidak pernah diterbitkan HGU setelah Ercpach No. 225 dan 84, yang pernah diterbitkan Belanda habis masa berlakunya. Juga tidak ada catatan soal perpindahan tanah tersebut menjadi kawasan Hutan. Adapun luas perkebunan Rotorejo seluas 254,151 Ha. Dilapangan bekas perkebunan Rotorejo masih berupa perkebunan dan diusahakan oleh PT. Rotorejo Kruwuk. Maka secara keseluruhan Total perkebunan Kruwuk Rotorejo ini seluas 821 Ha.

Dalam Audensi tersebut, dikatakan oleh Ketua Komisi I DPRD Kab. Blitar, dengan berdasarkan keterangan dari Kantor Pertanahan kab. Blitar soal Hak keperdataan (yang telah dijawab dalam artikel sebelumnya). Bahwa habisnya Hak Guna Usaha tidak serta merta menghapuskan Hak bekas pemegang Hak Guna Usaha. Namun Bekas pemegang Hak masih mempunyai Hak pengelolaan atas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut.

Apakah benar hal tersebut, dan apa dasarnya? Melalui artikel ini kami akan menjawab.

Hak Pengelolaan berbeda sama sekali dengan Hak Atas Tanah lainnya seperti Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai maupun Hak Milik. Perbedaan mendasar dari Hak Pengelolaan dibanding Hak – hak yang tersebut diatas adalah sifatnya yang bersifat publik. Hak Pengelolaan merupakan bagian dari Hak Menguasai Negara (HMN) yang secara garis besar dibatasi demi kesejahteraan rakyat (pasal 33 UUD’45). Hak Pengelolaan dalam bahasa Prof . Boedi Harsono merupakan bentuk prifat atau “gempilan” atau menurut Prof. Maria S.W. Sumarjono merupakan “Bagian” dari HMN yang bersifat publik.

Hal itulah yang merupakan titik awal dalam memahami Hak Pengelolaan, yang dalam UUPA diatur dalam pasal 2 ayat (4) yang berbunyi “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah – daerah Swatantra dan masyarakat – masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan – ketentuan peraturan pemerintah”.

Berdasarkan Hal tersebut Prof. A.P. Parlindungan menegaskan, ketentuan itulah yang memungkinkan diterbitkannya hak baru yang ketika itu (pada ketentuan pasal 2(4) belum ada, kecuali hanya dikatakan sebagai “delegasi pelaksanaan Hak Menguasai Negara kepada daerah – daerah otonom dan masyarakat hukum adat”.

Namun sifat publik tersebut tereduksi dengan adanya pasal penjelasan umum II (2) UUPA yang menyatakan “ Dengan perpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, Jawatan, atau daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing – masing”. Tereduksi karena Hak Pengelolaan dimasukan dalam Hak Atas Tanah sebagaimana Hak atas tanah lainnya.

Sedangkan pengajuan Hak Pengelolaan (hanya dapat diberikan kepada Daerah Otonom, Jawatan dan Masyarakat Hukum Adat). Sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria nomor 9 tahun 1965, harus dilengkapi dengan:
1. Merencanakan peruntukannya dan penggunaan tanah yang bersangkutan
2. Menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya
3. Menyerahkan bagian – bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai      yang berjangka waktu 6 (enam) tahun
4. Menerima uang pemasukan dan/atau uang wajib tahunan.

Disinilah bedanya Hak Pengelolaan (poin ketiga) dengan Hak Pakai yang dimiliki/dipunyai oleh Pemerintah Daerah maupun Jawatan. Dimana Hak Pengelolaan dapat diberikan Hak lain kepada pihak ketiga, sementara Hak pakai tidak dapat diberikan hak lain kepada pihak ketiga. Kedua Hak ini dapat dilihat dari Hak Pakai yang dimiliki oleh PT. KAI atas tanah yang digunakan untuk Ril Kereta Api. Dimana tanah – tanah tersebut tidak dapat digunakan//diberikan kepada pihak lain. Sedangkan Hak Pengelolaan yang diperoleh PT. KAI atas Stasiun, yang saat ini sebagian besar digunakan untuk pertokoan dan area parkir.

Sehingga apabila habis Hak Guna Usaha seperti yang dialami oleh PT. Perkebunan Rotorejo Kruwuk maka sebenarnya Hak Atas Tanahnya sudah hapus dengan sendirinya. Tidak lantas kemudian mereka secara serta merta mempunyai Hak Pengelolaan atas tanah tersebut. Dari sini sangat jelas bahwa posisi PT. Rotorejo Kruwuk dengan Paguyuban Petani Kelud Makmur sejajar secara hukum. Karena PT. Rotorejo Kruwuk mengajukan perpanjangan/pembaruan HGU, sedangkan masyarakat mengajukan redistribusi atas tanah tersebut sekaligus melakukan pemblokiran atas terbitnya HGU yang diajukan oleh PT. Rotorejo Kruwuk.

Pos ini dipublikasikan di Keadilan Sumber Daya Alam. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar